Lelaki tua itu selalu suka mengenakan lencana merah putih yang disematkan di bajunya. Di mana saja berada, lencana merah putih selalu menghiasi penampilannya.
Ia memang seorang pejuang yang pernah berperang bersama para pahlawan di masa penjajahan sebelum bangsa dan negara ini merdeka. Kini semua teman seperjuangannya telah tiada. Sering ia bersyukur karena mendapat karunia umur panjang. Ia bisa menyaksikan rakyat hidup dalam kedamaian.
Tak lagi dijajah oleh bangsa lain. Tidak lagi berperang gerilya keluar masuk hutan. Tapi ia juga sering meratap-ratap setiap kali membaca koran yang memberitakan keadaan negara ini semakin miskin akibat korupsi yang telah dianggap wajar bagi semua pengelola negara.
Banyak kekayaan negara juga dikuras habis-habisan oleh perusahaan-perusahaan asing yang berkolaborasi dengan elite politik. Kini, semua elite politik hidup dalam kemewahan, persis seperti para pengkhianat bangsa sebelum negara ini merdeka. Dulu, pada masa penjajahan, para pengkhianat bangsa menjadi mata-mata Kompeni.
Saat itu ia ditugaskan oleh Jenderal Sudirman untuk membersihkan negara ini dari pengkhianat bangsa yang telah tegamengorbankan siapa saja demi keuntungan pribadi. ”Para pengkhianat bangsa adalah musuh yang lebih berbahaya dibanding Kompeni. Mereka tak pantas hidup di negara sendiri. Kita harus menumpasnya sampai habis. Mereka tak mungkin bisa diajak berjuang karena sudah nyata-nyata berkhianat,” Jenderal Sudirman berbisik di telinganya ketika ia ikut bergerilya di tengah hutan.
Ia kemudian bergerilya ke kota-kota menumpas kaum pengkhianat bangsa. Dengan menyamar sebagai penjual tape singkong dan air perasan tape singkong yang bisa diminum sebagai pengganti arak atau tuak,ia mendatangi rumah-rumah kaum pengkhianat bangsa. Banyak pengkhianat bangsa yang gemar membeli air perasan tape singkong. Ia begitu dendam kepada kaum penkhianat bangsa. Mereka harus ditumpas habis dengan cara apa saja. Dan ia memilih cara paling mudah tapi sangat ampuh untuk menumpas kaum pengkhianat bangsa. Air perasan tape singkong sengaja dibubuhi racun yang diperoleh dari seorang sahabatnya berkebangsaan Tionghoa yang sangat mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Tak ada yang tahu, betapa kaum pengkhianat bangsa tewas satu persatu setelah menenggak air perasan tape singkong yang telah dicampur dengan racun.
Dokter-dokter yang menolong mereka menduga mereka mati akibat serangan jantung. Dukun-dukun yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati akibat terkena santet. Pemuka-pemuka agama yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati akibat kutukan Tuhan karena mereka telah banyak berbuat dosa.
LELAKI tua itu merasa ingin tetap menjadi pejuang, meski pada saat ini usianya sudah 80 tahun. Sering ia ingin berjuang menumpas kaum pengkhianat bangsa yang kini semakin membuat negara ini miskin tertimbun hutang yang berbunga-bunga.
Sejak istrinya wafat, ia memang diminta tinggal bersama cucunya yang paling kaya. Tanpa sepengetahuannya, cucunya itu adalah seorang pengusaha besar yang diam-diam ikut mengekspor kayu ke negara-negara lain secara ilegal. Cucunya bekerja sama dengan kaum penebang liar yang telah merusak ribuan hektar hutan di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera.
Di depannya, cucunya selalu berpura-pura membenci kaum pengkhianat bangsa yang telah merusak hutan. Dan pagi itu, ia bersama cucunya menikmati sarapan bersama, lalu membaca koran yang baru saja diantar loper. Koran itu memberitakan rusaknya hutan Indonesia akibat kerakusan sekelompok orang yang layak disebut sebagai pengkhianat bangsa dan negara.
Mereka betul-betul telah mengkhianati bangsa dan negara yang telah memberinya kepercayaan untuk menjaga hutan tapi kemudian merusak hutan. ”Pada masa penjajahan, hutan kita tidak rusak padahal tidak ada yang menjaganya. Kini hutan kita semakin rusak padahal dijaga banyak pihak”. Ia bergumam dengan kesal dan sedih. Cucunya tertawa dan menghiburnya dengan kata-kata lembut.
”Jangan sedih, Eyang. Hutan kita pasti akan kembali baik setelah tunastunas pohon tumbuh besar. Tapi kalau hutan kita semakin gundul, lebih baik dibuka untuk lahan pertanian atau berkebunan saja”. Ia tersenyum kecut. Kata-kata cucunya itu membuatnya masygul. Sebab, kenyataannya, lahan pertanian dan lahan perkebunan yang ada semakin sempit akibat pemekaran kampungkampung penduduk.
Di depannya, cucunya selalu berpura-pura membenci kaum pengkhianat bangsa yang telah merusak hutan. Dan pagi itu, ia bersama cucunya menikmati sarapan bersama, lalu membaca koran yang baru saja diantar loper. Koran itu memberitakan rusaknya hutan Indonesia akibat kerakusan sekelompok orang yang layak disebut sebagai pengkhianat bangsa dan negara.
Mereka betul-betul telah mengkhianati bangsa dan negara yang telah memberinya kepercayaan untuk menjaga hutan tapi kemudian merusak hutan. ”Pada masa penjajahan, hutan kita tidak rusak padahal tidak ada yang menjaganya. Kini hutan kita semakin rusak padahal dijaga banyak pihak”. Ia bergumam dengan kesal dan sedih. Cucunya tertawa dan menghiburnya dengan kata-kata lembut.
”Jangan sedih, Eyang. Hutan kita pasti akan kembali baik setelah tunastunas pohon tumbuh besar. Tapi kalau hutan kita semakin gundul, lebih baik dibuka untuk lahan pertanian atau berkebunan saja”. Ia tersenyum kecut. Kata-kata cucunya itu membuatnya masygul. Sebab, kenyataannya, lahan pertanian dan lahan perkebunan yang ada semakin sempit akibat pemekaran kampungkampung penduduk.
”Eyang sudah tua. Lebih baik menikmati kemerdekaan ini dengan sebaik- baiknya tanpa memikirkan bangsa dan negara yang sudah damai ini”.
Cucunya kembali menghiburnya dengan kata-kata lembut. Ia masih saja tersenyum kecut. Rasanya ia ingin tetap berjuang menumpas kaum pengkhianat bangsa dan negara yang saat ini merajalela memperkaya diri sendiri.
LELAKI tua itu baru saja habis sarapan bersama cucunya. Dan seperti biasanya, ia lalu membaca koran yang baru saja diantar loper.Tiba-tiba cucunya disergap oleh satu regu aparat penegak hukum dengan tuduhan sebagai penjarah hutan. Mereka juga menggeledah rumah mewah itu untuk mencari barang bukti yang dibutuhkan untuk proses hukum di persidangan nanti.
”Benarkah cucuku ikut merusak hutan?” tanyanya kepada seorang aparat yang sedang sibuk menggeledah kamar tidur. ”Ya, betul,Pak Tua. Cucu Anda sudah lama kami lacak.Semula kami menduga dia tinggal di luar negeri.Tapi ternyata dia tinggal di rumah ini”.
”Dengan siapa saja cucuku merusak hutan?” Seorang aparat itu hanya tersenyum sambil memandangi lencana merah putih yang disematkan di baju lelaki tua itu. Lalu bertanya, ”Maaf, apakah Pak Tua dulu seorang pejuang yang pernah berperang melawan Kompeni?” ”Ya, begitulah. Dan sampai sekarang aku ingin tetap berjuang. Sekali berjuang tetap berjuang sampai mati,” ”Bagaimana perasaan Pak Tua setelah melihat si cucu ternyata telah menjadi pengkhianat bangsa dan negara dengan ikut merusak hutan?” ”Aku sangat kecewa dan sedih. Dan jika ternyata cucuku memang terbukti bersalah, aku akan menghukumnya dengan mengeksekusi mati”.
”Dengan cara apa Pak Tua akan mengeksekusi mati si cucu yang telah ikut merusak ribuan hektar hutan itu?” ”Dengan cara yang sama seperti yang dulu sering kulakukan untuk menumpas kaum pengkhianat bangsa pada masa penjajahan”.
Cucunya kembali menghiburnya dengan kata-kata lembut. Ia masih saja tersenyum kecut. Rasanya ia ingin tetap berjuang menumpas kaum pengkhianat bangsa dan negara yang saat ini merajalela memperkaya diri sendiri.
LELAKI tua itu baru saja habis sarapan bersama cucunya. Dan seperti biasanya, ia lalu membaca koran yang baru saja diantar loper.Tiba-tiba cucunya disergap oleh satu regu aparat penegak hukum dengan tuduhan sebagai penjarah hutan. Mereka juga menggeledah rumah mewah itu untuk mencari barang bukti yang dibutuhkan untuk proses hukum di persidangan nanti.
”Benarkah cucuku ikut merusak hutan?” tanyanya kepada seorang aparat yang sedang sibuk menggeledah kamar tidur. ”Ya, betul,Pak Tua. Cucu Anda sudah lama kami lacak.Semula kami menduga dia tinggal di luar negeri.Tapi ternyata dia tinggal di rumah ini”.
”Dengan siapa saja cucuku merusak hutan?” Seorang aparat itu hanya tersenyum sambil memandangi lencana merah putih yang disematkan di baju lelaki tua itu. Lalu bertanya, ”Maaf, apakah Pak Tua dulu seorang pejuang yang pernah berperang melawan Kompeni?” ”Ya, begitulah. Dan sampai sekarang aku ingin tetap berjuang. Sekali berjuang tetap berjuang sampai mati,” ”Bagaimana perasaan Pak Tua setelah melihat si cucu ternyata telah menjadi pengkhianat bangsa dan negara dengan ikut merusak hutan?” ”Aku sangat kecewa dan sedih. Dan jika ternyata cucuku memang terbukti bersalah, aku akan menghukumnya dengan mengeksekusi mati”.
”Dengan cara apa Pak Tua akan mengeksekusi mati si cucu yang telah ikut merusak ribuan hektar hutan itu?” ”Dengan cara yang sama seperti yang dulu sering kulakukan untuk menumpas kaum pengkhianat bangsa pada masa penjajahan”.
LELAKI tua itu menjenguk cucunya yang ditahan di dalam sel khusus.Tampak cucunya sangat murung dan kedinginan. Biasanya tidur di atas kamar tidur mewah, kini terpaksa tidur di sel yang sempit dan dingin. ”Tolong Eyang, kalau datang menjenguk saya lagi, bawakan minuman yang bisa menghangatkan badan,”Cucunya berpesan sambil tersipu malu.
”Kamu mau minum air perasan tape singkong?” tanyanya. Cucunya mengangguk. Esoknnya, ia datang lagi menjenguk cucunya di dalam sel khusus dengan membawa sebotol air perasan tape singkong yang telah dicampur dengan racun tikus. Racun tikus itu mirip dengan racun yang dulu digunakan untuk menghabisi kaum pengkhianat bangsa dan negara. Air perasan tape singkong itu hanya dicampur dengan sedikit racun tikus, agar cucunya tidak langsung mati sehabis meminumnya.
Mungkin dua atau tiga jam kemudian baru tertidur untuk selamanya setelah menenggaknya. ”Sebaiknya air perasan tape singkong ini kamu minum menjelang malam nanti, biar kamu tidak kedinginan, sehingga bisa tidur nyenyak sampai pagi,” ujarnya ketika menyodorkan sebotol air perasan tape singkong bercampur racun tikus kepada cucunya. Dan esoknya, pagi-pagi sekali ada kabar cucunya sudah tewas di dalam sel tahanan. Dokter yang memeriksa jenazah menduga cucunya mati akibat serangan jantung.
LELAKI tua itu tersenyum lega sehabis mengikuti prosesi pemakaman cucunya. Sambil berdiri di depan cermin, ia melihat lencana merah putih tersemat di bajunya. Ia merasa semakin bangga karena bisa melanjutkan perjuangan pada saat bangsa dan negara ini sudah merdeka lebih dari setengah abad. Ia yakin, sampai kapan pun pasti selalu ada pengkhianat bangsa dan negara. Dan ia ingin terus berjuang menumpas pengkhianat bangsa dan negaranya. Ia benar-benar seorang pejuang sejati.
TUMPASKAN SEMUA PENGHIANAT BANGSA !
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Blogger Bakti Pertiwi yang diselenggarakan oleh Trio Nia, Lidya, Abdul Cholik.
Sponsored By :
- http://www.kios108.com/
5 comments:
Terimakasih atas partisipasi sahabat dalam kontes CBBP...
Artikel sudah lengkap...
Kalau bisa tolong Bannernya dipasang...
Salam hangat dari Jakarta....
sekarang sudah diupdate mbak :)
datang menilai :)
terima kasih atas partisipasinya
wah, semoga nilainya bagus ya mbak :)
sama-sama :)
Bagai mana nilainya?
Posting Komentar